Pendahuluan

Istilah capacity building dan good governance mulai popular ketika negara sedang berkembang menjalankan program reformasi birokrasi. Kedua unsur ini diakui sangat menentukan keberhasilan reformasi birokrasi. Apabila capacity building dijalankan dengan sungguh-sungguh maka nilai-nilai yang terdapat didalam good governance akan terwujud dan dirasakan manfaatnya. Popularitas kedua unsur reformasi ini juga merupakan wujud nyata dari adanya perubahan paradigm di dalam praktek administrasi publik, yaitu dari birokrasi klasik ke new public management, new public services. Capacity building diarahkan untuk meningkatkan kemampuan sementara good governance diarahkan untuk mempraktekan tatakelola pemerintahan yang ideal.

Dengan diimplementasikannya reformasi birokrasi di tanah air, maka muncul pertanyaan penting yaitu sampai seberapa besar keberhasilan capacity building dan good governance itu dalam pembangunan, pelaksanaan fungsi pemerintahan, dan pemberian pelayanan publik? Jawabannya secara implisit dapat ditelusuri di berbagai berita seperti koran, TV, radio dan internet tentang kinerja pemerintahan dimana selalu digambarkan ketidakmampuan, kelemahan sikap mental dan pola pikir birokrat dan praktek KKN yang melibatkan berbagai pihak mulai dari eksekutif, legislatif, yudikatif, sektor swasta, LSM dan masyarakat. Ini berarti capacity building dan governance andalan reformasi birokrasi, yang telah mulai bergema dan dilaksanakan satu decade yang lalu, belum membawa hasil yang diharapkan.

Sejak jatuhnya birokrasi Orde Baru, reformasi birokrasi telah dirintis dan diterapkan dalam berbagai program. Beberapa kementerian dan lembaga telah memberanikan diri merintis dan menjalankannya dengan biaya yang sangat besar namun hasilnya masih jauh dari harapan. Misalnya kasus KKN di Direktorat Perpajakan yang melibatkan banyak pihak, menunjukkan kegagalan ini. Kekecewaan pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I telah mendesak Presiden SBY untuk memberi tugas khusus kepada MENPAN dengan memberikan nama tambahan menjadi “Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi” pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Yang diragukan adalah apakah MENPAN yang selama ini belum pernah memiliki pengalaman melaksanakan reformasi birokrasi, dapat mampu dapat mensukseskan reformasi birokrasi di Indonesia?.

Tulisan ini mencoba memberikan spekulasi akademik yang bernada pesimis tentang prospek reformasi birokrasi Indonesia karena kurangnya kemampuan (capacity), dan kemauan (willingness) dari birokrat, dan dukungan lingkungan yang kondusif (enabling setting) untuk menerapkan capacity building dan good governance secara sungguh-sungguh. Kondisi ini akan terus terjadi selama para pejabat struktural utamanya para pemimpin organisasi atau lembaga pemerintah belum ditingkatkan kemampuannya dan diberi akses untuk melakukan perubahan.